Hybrid Learning Ajang Rekognisi Ambisi

Oleh : Dewinta Aulia Savitri

Palembang – Pandemi yang tidak kunjung pasti menjadi endemi membuat banyak aktivitas menjadi tidak sesuai kuantitas. Pembelajaran dikelas masih dibatasi maksimal 30 orang, untuk menghindari kerumunan yang berlebihan dengan pemenuhan fasilitas yang syarat akan aturan. Kelas dengan kuantitas lebih dari yang ditetapkan akan melakukan kegiatan pembelajaran secara hybrid atau setengah didalam kelas dan sisanya dirumah, serta dijadwalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keadaan kelas hybrid ini tentu menimbulkan paradigma baru terutama bagi anak yang mendapatkan jadwal belajar dari rumah atau secara daring.

Paradigma yang bermunculan adalah bahwa yang berada dikelas akan lebih menguasai pembelajaran, dan yang dirumah menjadi penonton. Paradigma tersebut tentu tidak serta merta muncul begitu saja, pasti ada penyebab atau runtutan peristiwa yang membekas sehingga muncul kalimat “penonton” dalam pembelajaran.

Read More

Pembelajaran pasif selama kurang lebih 2 tahun menjadikan segala sesuatunya dipermudah, mulai dari kelas, meeting, bimbingan, ujian, bahkan tandatangan untuk suatu berkas juga sudah dibuat dan disetujui secara online, tidak dipungkiri bahwa kemudahan-kemudahan ini menciptakan mindset baru pada tiap individu salah satunya pada mahasiswa yang melakukan kelas full online selama 2 tahun.

Banyak sekali mahasiswa yang tidak memilih untuk belajar lebih giat karena semua ujian dan hal lainnya dilakukan secara online sehingga pasti akan lebih mudah dilakukan walaupun tidak dalam keadaan benar-benar paham. Kualitas pembelajaran menjadi sangat jauh dari yang diharapkan dan banyak yang lebih memilih diam karena lelah dengan keadaan.

Mindset dan kebiasaan yang salah selama masa pandemi tentu tidak bisa dipertahankan setelah muncul kebijakan hybrid learning atau pembelajaran yang dilakukan dirumah dan disekolah dalam satu waktu dengan menggunakan media penghubung berupa jaringan internet dan alat komunikasi seperti smartphone dan laptop.

Hybrid learning menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif dan efektif karena dapat bertemu langsung tanpa ada keterbatasan ruang bagi yang mendapat jadwal hadir dikelas. Keadaan kelas yang tidak lagi tanpa batasan menciptakan pergolakan ambisi yang signifikan, tidak ada lagi sikap acuh terhadap pembelajaran, banyak bakat terpendam yang tidak pernah terlihat didepan layar muncul di hadapan, seperti bernyanyi, public speaking, story telling, ICT dan lainnya, semua orang ingin memperlihatkan sisi lain dari wajah datar didepan layar termasuk dalam kegiatan pembelajaran, seringkali diskusi yang dilakukan didalam kelas terjadi berlarut larut tanpa memperdulikan teman lain yang mengikuti kelas dari rumah, bukan tidak ingat tapi kalah melawan cawan ambisi yang tidak terpenuhi selama beberapa waktu ini.

Banyak pertanyaan, protes, sanggahan, dan permintaan yang tidak lagi terpenuhi sebagai hak setiap orang dalam pembelajaran. Kondisi kelas dikendalikan oleh anak yang berada pada jadwal luring sehingga walaupun dikatakan sebagai solusi pembelajaran eksekusi pelaksanaan hybrid learning tetap tidak menjadikan pembelajaran lebih baik. Semua anak dikelas berlomba untuk mendapat posisi dan pengetahuan terbaik dengan minim toleransi, padahal setiap orang punya ambisi, punya hak untuk diberikan pembelajaran yang lebih bermakna dan pengalaman yang lebih berarti. Kondisi inilah yang menciptakan drama paradigma “aku sebagai penonton, bukan pembelajar”

Paradigma yang muncul dan dilontarkan berulang kali mengindikasikan rekognisi ambisi yang belum terpenuhi. Fakta yang ada dilapangan tersebut seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi bagi pendidik, untuk mencari solusi yang tepat untuk pembelajaran, baik dari segi metode, model atau strategi pembelajaran, karena tidak akan berguna ketika sudah melakukan pembelajaran dengan aturan yang sesuai yaitu student center namun tidak bisa menjadi hak bagi semua orang.

Sisi lain adanya kelas hybrid ini adalah setiap orang menjadi lebih bergairah dalam belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan, karena ada pemenuhan motivasi sebagai kebutuhan rohaniah oleh guru secara langsung yang tidak didapatkan saat belajar full secara online sehingga pembelaran menjadi lebih bermakna walaupun hanya sebagian anak sesuai jadwal.

Dewinta Aulia Savitri Mahasiswa Semester 6 Universitas Sriwijaya
Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Related posts

Leave a Reply