Mengapa Indonesia Tidak Ingin Dibantu Selandia Baru dalam Pembebasan Sandera?

Perdana Menteri Fiji menyambut Benny Wenda. Copyright (c) 2016 TEMPO.CO

Pemerintah Indonesia memang telah mengirim nota diplomatik kepada Fiji menanggapi pertemuan Perdana Menteri Stiveni Rebuka dan Pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah pada Kamis, 2 Maret 2023, mengkonfirmasi pengiriman nota diplomatik kepada pemerintah Fiji itu. “Kurang lebihnya dalan nota tersebut Indonesia menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas pertemuan PM Fiji dengan seseorang yang mengklaim secara sepihak dirinya mewakili masyarakat Papua, Indonesia.”

Read More

Menurut saya, itu langkah yang tepat, karena selama ini Benny Wenda menjadi batu sandungan untuk Indonesia. Apalagi Perdana Menteri Fiji terlihat bersalaman dengan Benny Wenda berkalungkan tanda bendera “Papua Merdeka.”

Sebelum peristiwa ini, tahun 2017, Kementerian Luar Negeri RI pun pernah menjawab tuduhan Tujuh Negara Pasifik yang menuding Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua. Tuduhan itu dilontarkan Vanuatu.

Siapa Benny Wenda?

Benny Wenda pernah mengatakan, ” Kami siap untuk mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami. “

Itulah ucapan Benny Wenda waktu itu yang disuarakan dari Inggris, tempat ia bermukim bersama keluarganya. Benny telah meninggalkan Indonesia pada 1990-an.

Benar, ia sekarang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Apakah secara ” de jure,” bisa dikatakan komentar Benny Wenda secara hukum internasional diakui? Sudah tentu tidak.

Secara ” de facto,” sah-sah saja, sebagaimana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Bahkan tindakan PLO lebih maju lagi, yaitu memiliki Duta Besar di beberapa negara, tetapi apakah Palestina sekarang dianggap sebagai negara merdeka secara “de jure” ?

Tidak. Meski pun mereka memiliki Presiden dan para menterinya.

Inggris memang sejak awal membela Benny Wenda, dimulai dengan melindungi dirinya tinggal di negara tersebut hingga Dewan Kota Oxford memberi penghargaan kepada Benny.

Saat menerima penghargaan tersebut, Benny Wenda, berujar: “Oxford adalah salah satu yang pertama mendengar tangisan rakyat Papua Barat untuk keadilan, hak asasi manusia, dan menentukan nasib sendiri”.

Diberitakan dari Wikileak, bahwa Benny Wenda sekarang memiliki tujuh Putra-Putri Papua Lulus Universitas di AS, seorang dengan Magna Cum Laude.

Saat menerima penghargaan tersebut, Benny Wenda, berujar: “Oxford adalah salah satu yang pertama mendengar tangisan rakyat Papua Barat untuk keadilan, hak asasi manusia, dan menentukan nasib sendiri”.

Pernyataan Benny ini pun sulit dipahami. Biasanya untuk menentukan nasib sendiri, seharusnya berada di dalam negeri, sebagaimana Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan.

Pemimpin ULMWP Benny Wenda ini mendapat suaka politik di Inggris pada 2002 dan membuka kantor gerakan Papua merdeka di Oxford pada 2013.

Secara pribadi, saya pernah di Papua ketika tahun 1975-1979 dan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Negeri Cenderawasih, Abepura, Papua. Namanya dulu Fakultas Ilmu-Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES). Saya kuliah di Jurusan Hukum. Tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM), sering kami lihat di kampus, kemudian menghilang. Sepertinya, cerita Benny Wenda akan muncul di bulan Desember, selanjutnya tenggelam.

Ada baiknya pihak keamanan banyak didatangkan ke Papua, lebih-lebih ketika terhadap gangguan bersifat sporadis dari OPM. Apalagi isu masuknya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) di Papua, jangan sampai mengundang kehadiran pasukan AS dan Inggris.

Apakah isu kehadiran itu sekedar dusta politik untuk melegalkan kehadiran pasukan AS di Papua, seperti di Irak sekarang ini yang akan tetap menyatakan keinginan untuk tetap berada di Irak?

Tema sentralnya yaitu kehadiran ISIS, memperumit masalah Papua meski sebenarnya itu gerilyawan ciptaan AS sendiri.

Kasus Sandera Pilot Selandia Baru

Sudah lebih sebulan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyandera pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens asal Selandia Baru di Papua.
.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dalam hal ini mengungkap rasa optimisnya sandera dapat dibebaskan tanpa bantuan Selandia Baru.

Yudo menegaskan pihaknya masih mampu membebaskan Pilot Pesawat Susi Air yang disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya.

Yudo merespons tawaran bantuan dari Selandia Baru untuk membebaskan Philip selaku warga negaranya. Philip diketahui sudah disandera selam satu bulan.

Yudo menyebut kelompok yang ingin Papua merdeka itu bercampur dengan masyarakat setempat sehingga pihaknya harus hati-hati dalam membebaskan pilot tersebut.

Pilot masih tetap diusakan dicari. Karena tentunya di dalam situasi seperti ini, KKB bercampur dengan masyarakat, sehingga TNI juga harus berhati-hati. Jika salah sasaran, boleh jadi, rakyat yang tidak bersalah ikut menjadi korban.

Perwira bintang empat itu mengatakan, pihaknya tak menetapkan target waktu dalam menyelamatkan Philip. Yudo tidak mau ada penduduk yang justru menjadi korban dalam operasi ini.

“Lapangannya tidak mudah, langsung di suatu tempat yang bisa diambil langsung, kan tidak. Itu tadi, mereka berlindung selalu dengan masyarakat, malah dengan anak-anak. Ini yang akan kita pisahkan. Sedapat mungkin kita laksanakan secara persuasif. Kita tidak mau masyarakat jadi korban karena itu,” jelasnya lagi.

Kesimpulan mengapa Panglima TNI tidak mau mengizinkan Selandia Baru ikut membantu pilot warga negaranya yang disandera?

Menurut saya, selain berhati-hati, bukankah Selandia Baru berhubungan erat dengan Amerika Serikat (AS) dan Australia? Jika di Papua terjadi hal tidak diinginkan, pasti berpengaruh langsung kepada AS dan Australia.

Selandia Baru ini memiliki Pakta Keamanan bersama AS dan Australia (bahasa Inggris: Australia, New Zealand, United States Security Treaty (ANZUS) atau Pakta ANZUS).

Pakta ini adalah aliansi militer yang mengikat antara Australia dan Selandia Baru dan, secara terpisah, Australia dan Amerika Serikat bekerjasama dalam hal pertahanan di daerah Samudra Pasifik, meskipun saat ini perjanjian dipahami untuk menghubungkan serangan di daerah manapun.

Perjanjian ini adalah salah satu organisasi yang dibentuk AS pada era 1949-1955 sebagai bagian dari tanggapan kolektifnya terhadap ancaman komunisme selama Perang Dingin. Selandia Baru pernah diskors dari ANZUS pada tahun 1986, karena memprakarsai zona bebas nuklir di perairan teritorialnya Pada akhir 2012, tetapi AS mencabut larangan kunjungan oleh kapal-kapal perang Selandia Baru yang menyebabkan mencairnya ketegangan.

Selandia Baru mempertahankan zona bebas nuklir sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya dan sebagian ditangguhkan dari ANZUS, karena AS mempertahankan kebijakan ambigu apakah kapal perang membawa senjata nuklir atau tidak dan mengoperasikan banyak kapal induk dan kapal selam bertenaga nuklir namun Selandia Baru memulai kembali bidang-bidang utama perjanjian ANZUS pada 2007.

Oleh Dasman Djamaluddin (Penulis Buku Biografi, Wartawan dan Sejarawan)

Related posts

Leave a Reply